Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2009

Hujan Al Mukarram

Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan supaya agak sedikit waras. Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus saja berjalan. Biasa,berjalan biasa. Hujan itu baik. Apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di Arab Saudi. Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa' segala. Sekarang, kalau hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko. Padahal kita ini makhluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan. Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah kita. Entah kenapa pakaian kik tidak bela-bela. Kita sampai membeli mantel segala. Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kitapun lari berhamburan seolah pasukan Israel datang. Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Di samping tak me

LISTRIK MAJAPAHIT

Apakah satu dua malam akhir-akhir ini listrik di tempat Anda suka ngaso*) juga seperti di kampung saya? Derita dan keterpepetan membuat orang sewot, marah, jengkel, atau justru kreatif. Paling tidak, kita jadinya bisa menyelenggarakan diskusi gratis, tanpa budget macam-macam termasuk "uang tak terduga" yang sudah kita duga secara persis. Begitu sang listrik 'tidur', teman-teman di rumah kontrakan saya mengomel. "Terasa sekali betapa kita ini tergantung kepada alat-alat yang kita ciptakan sendiri," kata seseorang. "O, ya! yang lain nyeletuk, "Di zaman Maapahit sudah ada minyak tanah atau belum ya?" Kemudian diskusi menjadi riuh, dan saya bersyukur tidak sedang ada tamu seorang sejarawan. Sebab dia bisa dijawabnya secara persis. Kita tahu Gajah Mada bersumpah, Ranggalawe cemburu sosial, Raden Wijaya menjebak pasukan Cina, Suhita didongengkan sebagai Kencanawungu, Perang Bubat membawa dampak psikologis berabad-abad. Tapi kita tak tahu, dan tak be

PRIHATIN DULU, PRIHATIN KEMUDIAN

Tiap hari Anda naik biskota ya? Memang terkadang susah bukan main. Panas, berjejal-jejal. Apalagi kaiau pada jam orang pergi atau pulang kerja, sekolah, kuliah. Kita bergelantungan. Padahal babi, sapi atau kuda, diangkut di atas truk dengan diatur balk-balk. Memang kita tidak ditali seperti binatang-binatang itu, tapi yakin haqqulyaqin, jelas ada tali yang terasa keras menjerat leher nasib kehidupan kita. Dan itu amat terasa tatkala tubuh kita terhimpit-himpit. Bahkan wanita-wanita merelakan bagian-bagian tubuhnya bertempelan dengan laki-laki. Ada semacam moralitas khusus dalam budaya naik bis. Moralitas itu tak berlaku begitu kita turun bis. Kalau kita terus menempel di tubuh wanita sekeluarnya dari bis, akan terjadi dua kemungkinan. Kita didamprat dan dikeroyok oleh banyak lelaki lain yang dijamin pasti membela sang wanita. Atau kemungkinan kedua kita justru dapat jodoh. Pokoknya naik biskota itu perlambang dari marginalitas. Keterpinggiran, keterpojokan. Pusat sosial ekonorni adalah

Kelugasan Madura vs CV Politik Pribadi

Orang Madura, juga serius dan lugu dengan kata-katanya. Kalau ia menyatakan sesuatu, biasanya karena memang demikian isi hati atau pikirannya. Kalau ia megungkapkan suatu bentuk sikap tertentu, biasanya karena memang begitulah muatan yang ada dalam bathinnya. Dan itulah perbedaan utama dengan misalnya, orang Jawa dan politisi. Kalau orang Jawa dalam situasi hubungan yang seringkali feodalistik --mengatakan "Ya", jangan langsung beranggapan bahwa ia memang menyetujui apa yang ia dengarkan atau apa yang anda mintakan persetujuannya. Ada kemungkinan ia masih menyimpan "tidak" di ruang dalam bathin mereka atau minimal dalam gumpalan mondolan blangkon kepala mereka ; tidak usah terkejut, apabila ia tetap menyimpan 'tidak' itu sampai bertahun-tahun lamanya. Ketidakmenentuan "ya" dan "tidak" mereka bisa disebabkan oleh kekuatan hirarkis, atau justru politik kekuasaan atas Anda. Politisi bisanya kan juga begitu. "Ya" dan "tidak&quo

Buang Sial ke Singapura

Alkisah, bersepakatlah pengusaha yang muda tiga sekawan untuk ber-weekand ke singapura. Yang satu, Tigor, berasal dari Batak, lainnya, Sutrimo, asli Jawa, lainnya lagi, Abdul, dari Madura. Sabtu sore ngumpul di Cengkareng, langsung bareng ke Singapura, dan paginya, atau setidaknya siang harinya, balik lagi ke Jakarta. Soal apa alasan kepergian mereka kepada istri masing-masing, Ente pasti cukup profesional untuk mengarang sendiri. Terserah saja apa, tergantung bagaimana Ente sendiri biasanya mengelabuhi istri Ente. Memang ruginya orang punya istri adalah bahwa ia punya kemungkinan untuk menyeleweng. Kalau bujangan, pasti bersih dari penyelewengan. Kalau Ente seorang suami, begitu lirikan Ente ke seorang cewek mengandung sedikit saja virus napsu, berarti Ente menyeleweng dari istri dan salah-salah bisa dituduh berzina mata oleh sebuah sekte agama. Tapi kalau Ente bujangan, biar melirik sampai melorok, biar melilit sampai melotot: kan tidak menyeleweng namanya. Jadi, lelaki yang kawin, i

Wawancara

SEMUA orang mempunyai pengetahuan tentang hidup. Tapi yang paling tahu hanya tiga, yakni Tuhan, malaikat dan wartawan. Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari mempergunjingkan dan menggosipkan orang. Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain. Tuhan mengetahui apa saja, malaikat mencatat segala peristiwa, dan wartawan bukan hanya sekedar tahu ada peristiwa pengguntingan pita. Wartawan bukan hanya sekedar mengerti teknik wawancara yang terencana. Lebih dari itu, wartawan tahu per

Negeri Orang Tertawa

Berpengalaman Dijajah Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama negeri saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah, mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit - semuanya potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa. Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran di berbagai negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang dipukul, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok.. Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka, dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta. Aliansi anti deportasi di Jakartta melaporkan hanpir 3 juta kasus penindasan atas tenaga kerja Indonesia diluar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan, para pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ket

Peringatan dan Amarah

Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya bertambah terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang sedang menjadi Guru” dan “yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang atau sesuatupun yang pernah mengajari saya lantas tidak lagi menjadi Guru saya. Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin mengajar saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru kepada mereka dengan penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten untuk marah kepada saya. Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering diperingatkan atau dimarahi oleh Gurunya supaya tidak terlalu mblunat? Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin saya ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras, dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami, bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid yang baik, semua itu senantiasa saya t

Konsep Teologi Sepeda Hilang

Pada suatu pagi, sekitar 15 tahun yang lalu, sepeda pancal alias sepeda onthel saya hilang dari rumah kontrakan saya. Tentu diambil oleh salah seorang dari anak-anak muda sekitar sini. Banyak dari mereka pengangguran, dan lagi rumah ini memang dekat dengan pasar. Sebagai manusia normal, saya marah. Tapi terus terang ini tidak konsisten dan tidak rasional. Rumah ini memang tak pernah dikunci. Setiap orang gampang sekali membuka pintu yang sebelah manapun dan mengambil apapun. Jadi, kalau sepeda hilang, itu logis dan realistis. Tapi saya tak peduli. Saya ke depan rumah, berdiri bertolak pinggang menghadap ke arah pasar, dan berteriak: "Kalau sepeda saya tidak kembali sampai nanti sore, saya tidak bertanggung jawab kalau ada orang pengkor satu kakinya, cekot sebelah tangannya, atau pethot mulutnyal" Orang-orang di sekitar kaget dan terkesiap sejenak. Tapi saya segera masuk rumah dan tidur lagi. Tak disangka tak dinyana, ketika siang belum sempurna, pintu depan diketuk berulangka

Tuhan Yang Maha Jowo

Kalau Anda sering bergaul dengan orang Luar Negeri, terutama auslander yang tergolong 'modern'dan 'rasional' -- mungkin saja sering Anda sampai pada kesimpulan begini : "Panas dulu kita bangsa Jawa ini gampang dijajah. Lha wong kita ini terlalu baik". Terlalu 'baikan' sama orang. Sangat menyambut. Akomodatif. Suka menyuguh dan memberikan apa saja yang kita bisa kepada para tamu. Itu namanya "jowo". Kalau pelit, itu "ora jowo". Tentulah. Karena kita semua memang pengagum Tuhan, dan berusaha meniru sifat-sifatNya. Bukankah Tuhan Maha Jowo? Bayangkanlah kalau Allah mengurangi jowoNya, misalnya pagi ini kurangi anugerah Nya kepada Anda dengan mengambil mata atau telinga yang nempel di tubuh kita dan disimpan kembali di gudang Nya. Lha, ya begitulah, beberapa lama ini saya menemani tamu monco saya. Tak habis-habisnya saya nraktir, membelikan lurik, batik, berbagai sovenir, T-shirt, dan lain-lain. Sampai pada suatu hari, saya berdebat den