Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2010

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi. Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami. Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak

Buruh 1

Sejak di Taman Kanak Kanak, kita selalu diajari bahwa cita-cita yang terbaik adalah membela bangsa dan negara. Sesudah kita dewasa, sekarang.kita selalu menyadari bahwa tugas mulia kita adalah bagaimana senantiasa nenyumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk menyejahterakan rakyat, membela bangsa, membahagiakan masyarakat, rnenciptakan ketenteraman sosial. Apa saja yang mengancam ketenteraman sosial, akan kita perangi bersama-sama. Keyakinan itulah yang saya patrikan dalam hati ketika membaca surat dari beberapa pekerja pabrik, yang beberapa hari kemudian langsung menemui saya di rumah kontrakan. Wajah mereka kuyu, sinar mata mereka layu meskipun penuh semangat, dan pakaian mereka tentu saja---tidak trendy. Sebagai pekerja rendahan, tentulah mereka tak punya kapasitas ekonomi untuk mengejar mode yang larinya selalu sangat lebih cepat dibanding 'langkah' gaji kita semua. Terus terang, kalau bersentuhan dengan strata pekerja, otak saya langsung curiga. Ini ada urusannya dengan ket

Oknum

Kali ini tampaknya justru saya yang berkonsultasi kepada Anda. Ini menyangkut keluhan seorang ibu rumah tangga yang batinnya sedang sangat tertekan. Berasal dari wilayah dekat kampung halarnan saya sendiri, yakni Mojoagung, Jombang, Javva Timur. Pernahkan Anda membayangkan bahwa di antara hal-hal dan realitas yang saya ketahui, hanya sekitar 25 persen saja--bahkan mungkin kurang dari itu yang bisa saya ungkapkan melalui tulisan? Ada banyak pintu tertutup atau rambu nilai yang membuat sangat banyak harus disembunyikan atau ditutup-tutupi. Ada 'rambu' tata aturan politik. Ada etika sosial, baik yang universal maupun yang nasional dan yang khas budaya Jawa. Ada kode etik jurnalistik. Ada 'rambu' SARA, yang penafsiran atasnya selalu kabur dan berdasarkan subjektivisme kekuasaan, dan lain sebagainya. Itu semuia membuat kita sering terpaksa menyembunyikan kejahatan, melindungi kebobrokan, atau menutup-nutupi kekejaman. Kita sungguh-sungguh belum lulus dalam hal menentukan str