Al-Bagoroh Telah memberi Kita Alarm (i)
Salah satu 'ijaz Al Qur'an ialah bahwa sistematikanya tidak dapat dirumuskan. Kita bisa misalnya, menyusun klasifikasi per-disiplin : ada ayat hukum, ayat ekonomi, ayat moralitas, ayat astronomi atau biologi. Ibarat samudra, kita ambil satu ember airnya untuk kita masukkan ke dalam tabung yang berbeda-beda sesuai dengan approach yang kita gunakan. Besok pagi kita akan menemukan suatu kenyataan bahwa pengisian tabung itu bisa kita tukar dan balik atau kita campurkan sekaligus.
Kita mungkin akan mengatakan bahwa Al Qur'an adalah suatu dimensi petunjuk yang multikompleks, kamil, paripurna namun sesungguhnya lebih dari itu. Al Qur'an itu tiada 'jarak'nya dengan Allah : dan kita menyebut Allahu Akbar. Akbar bukan Kabiir. Bukan saja Maha Besar, melainkan lebih dari Maha Besar. Jika kita mampu membayangkan yang lebih besar lagi dari batas besar yang bisa kita capai, maka Ia lebih besar. Jika Maha Besar itu seolah-olah bisa kita 'fahami' dengan rasa-pengertian kita, maka Ia lebih lagi. Kata Maha itu, meskipun tidak terbayangkan, namun ia memberi kesan statis, tetap, atau berhenti. Tetapi Lebih Besar, memberi kesan dinamis, hidup, bergerak. Suatu keterus-menerusan dan ketiada-terbatasan. Dengan permenungan tertentu kita barangkali mampu
menggapai taraf demi taraf kebesaran, tetapi kita akan 'lenyap' di satu level tertentu, sebab kita tidak akan bakal mencapai ruang dan tak akan dipeluangi waktu untuk mengejar yang lebih Besar dan terus Lebih Besar.
Maka demikianlah, karena laa roiba fiihi ( (Al-Baqoroh 2) AlQur'an adalah wahyu Allah, kita tak perlu 'heran' apabila ia senantiasa lebih dari segala yang pernah kita tafsirkan, kita mafhumi, kita simpulkan atau kita duga-duga. Allah menganugerahkan kita pamungkas dari segala kitabullah ini kepada kita, suatu jenis makhluk yang ahsani taqwiim (At-Tien 4), yang dulu diprotes penciptanya oleh para Malaikat karena "akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah (Al-Baqoroh.30). Terhadap hal tersebut sejak semula jelas pernyataan Allah tentang keterbatasan kita. JawabNya atas protes itu : "Sesungguhnya Aku. mengetahui apa yang engkau tidak ketahui" (Al-Baqoroh 30).
Malaikat, yang ghoib, dan wajib kita percayai bahwa ia ghoib, sama sekali tak mengetahui apa yang Allah ketahui. Maka kita, jenis makhluk yang berdaging tulang ini, sekurang-kurangnya tak lebih dari itu.
Maka demikian pula terhadap Al Qur'an : tetap berlaku keterbatasan kita. Dengan demikian sesungguhnya alangkah menggairahkan untuk menjadi seorang mu'min : betapa melimpah rahasia Allah yang bisa kita dambakan dan kita yakini. Ayat-ayatNya yang di suatu hari terasa seperti gamblang, temyata mengandung keghoiban, sedemikian rupa sehingga kita akhimya mengalami bahwa itulah satusatunya ruang untuk berislam, sumeleh, pasrah dalam arti yang seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang multi kompleks, yang gamblang namun tetap ghoib dan menyimpan misteri, yang ghoib namun juga bisa gamblang. ========>(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/PadhangmBulanNetDok)
Kita mungkin akan mengatakan bahwa Al Qur'an adalah suatu dimensi petunjuk yang multikompleks, kamil, paripurna namun sesungguhnya lebih dari itu. Al Qur'an itu tiada 'jarak'nya dengan Allah : dan kita menyebut Allahu Akbar. Akbar bukan Kabiir. Bukan saja Maha Besar, melainkan lebih dari Maha Besar. Jika kita mampu membayangkan yang lebih besar lagi dari batas besar yang bisa kita capai, maka Ia lebih besar. Jika Maha Besar itu seolah-olah bisa kita 'fahami' dengan rasa-pengertian kita, maka Ia lebih lagi. Kata Maha itu, meskipun tidak terbayangkan, namun ia memberi kesan statis, tetap, atau berhenti. Tetapi Lebih Besar, memberi kesan dinamis, hidup, bergerak. Suatu keterus-menerusan dan ketiada-terbatasan. Dengan permenungan tertentu kita barangkali mampu
menggapai taraf demi taraf kebesaran, tetapi kita akan 'lenyap' di satu level tertentu, sebab kita tidak akan bakal mencapai ruang dan tak akan dipeluangi waktu untuk mengejar yang lebih Besar dan terus Lebih Besar.
Maka demikianlah, karena laa roiba fiihi ( (Al-Baqoroh 2) AlQur'an adalah wahyu Allah, kita tak perlu 'heran' apabila ia senantiasa lebih dari segala yang pernah kita tafsirkan, kita mafhumi, kita simpulkan atau kita duga-duga. Allah menganugerahkan kita pamungkas dari segala kitabullah ini kepada kita, suatu jenis makhluk yang ahsani taqwiim (At-Tien 4), yang dulu diprotes penciptanya oleh para Malaikat karena "akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah (Al-Baqoroh.30). Terhadap hal tersebut sejak semula jelas pernyataan Allah tentang keterbatasan kita. JawabNya atas protes itu : "Sesungguhnya Aku. mengetahui apa yang engkau tidak ketahui" (Al-Baqoroh 30).
Malaikat, yang ghoib, dan wajib kita percayai bahwa ia ghoib, sama sekali tak mengetahui apa yang Allah ketahui. Maka kita, jenis makhluk yang berdaging tulang ini, sekurang-kurangnya tak lebih dari itu.
Maka demikian pula terhadap Al Qur'an : tetap berlaku keterbatasan kita. Dengan demikian sesungguhnya alangkah menggairahkan untuk menjadi seorang mu'min : betapa melimpah rahasia Allah yang bisa kita dambakan dan kita yakini. Ayat-ayatNya yang di suatu hari terasa seperti gamblang, temyata mengandung keghoiban, sedemikian rupa sehingga kita akhimya mengalami bahwa itulah satusatunya ruang untuk berislam, sumeleh, pasrah dalam arti yang seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang multi kompleks, yang gamblang namun tetap ghoib dan menyimpan misteri, yang ghoib namun juga bisa gamblang. ========>(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/PadhangmBulanNetDok)
Komentar
Posting Komentar