Al-Baqarah Telah Memberi Kita Alarm(iv)
Ketika di ayat-ayat awal Allah berfirman dan memberikan gambaran tentang golongan mu'minin, nafiqiin, musyrikiin dan kaafiriin : kita begitu karib dengan deskripsi. Rasanya yang digambarkan Allah itu baru berlangsung tadi pagi, tujuh abad sesudah ayat itu diturunkan, dan di suatu tempat dan lingkup yang kita kenal sebagai 'dunia modern'.
Membaca Al-Baqoroh ayat 11, tidaklah tertera di kesadaran kita hipokrisi politik dewasa ini dengan segala anasir dan variabeinya? Itu siapa tahu barang kali juga menyangkut sebagian pemimpin Kaum Muslimin sendiri, atau justru kita sendiri yang sedikit banyak juga memiliki saham di dalam 'dosa bersama' penumbuhan 'kemunafikan struktural' meskipun mungkin kita tidak menyadarinya, seperti yang disebut oleh ayat 12?
Pernah kita memiliki sahabat-sahabat, kenalan-kenalan, gagasan-gagasan yang kita jumpai di mass media, di forum-forum diskusi, seminar, pidato-pidato, puisi-puisi, atau dalam obrolan-obrolan lepas sehari-hari, yang sesungguhnya dideskripsikan Allah melalui Al-Baqoroh ayat 13? Tidakkah getaran kenyataan yang diungkapkan Allah tersebut kita rasakan kemarin, hari ini, di lingkungan yang karib dengan kesibukan kita, bahkan juga justru di dalam diri kita sendiri? Kemudian kita sendiri jugakah, atau handai tolan kita, atau pemikiran-pemikiran lingkungan yang sering kita dengar, kita baca, kita jumpai, yang sesungguhnya dimaksud oleh ayat 18?
Apakah kita takut mati? Artinya mungkin juga takut pada 'kematian kecil'? Takut kelaparan? Takut soal jaminan hari depan, sehingga lebih mempercayakannya kepada 'buah-buah khuldi' yang dilarang Allah, dibanding mempercayakannya kepada kesetiaan terhadap hukum-hukumNya? Apa gerangan konsep kita tentang kematian? Etos mati yang bagaimana yang hidup dan kita imani selama ini?
Sesuaikah ia atau bertentangankah ia dengan tuntunan Allah di ayat 94 umpamanya?
Apakah kita merasa kecut karena "tidak mungkin melawan arus"? Apakah kita 'terpaksa' menjadi munafiq kemudian setengah mati berusaha menyembunyikan kemunafikan itu dengan menyodor-nyodorkan alasanalasan apologetik dan artifisial untuk dijadikan topeng yang kita pakai di panggung pementasan yang sarat hipokrisi ini? Apa artinya gerangan resiko miskin, kelaparan, sedikit takut, dikucilkan, 'buntu masa depan'?
Apa gerangan makna'kesengajaan cobaan' Allah itu, kemudian isyarat bahagia bagi mereka yang terus setia bersabar, seperti yang diungkapkan oleh ayat 155? Apa pula arti bimbingan Allah agar kita mengucapkan "Sesungguhnya segala sesuatu adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya" (ayat 156) apabila kita menerima musibah-musibah apa pun, tidak hanya 'kematian' ? Dan jika selama ini kita memakai tradisi mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun" setiap kali ada ikhwan kita yang meninggal dunia, marilah kita pertanyakan kembali sesuai dengan konsep Allah kah pengertian kita tentang 'musibah' dan'mati'.
Jangan-jangan apa yang biasanya kita anggap musibah sesunggahnya justru bukan musibah menurut pengertian Allah yang mestinya wajib kita tiru. Jangan-jangan apa yang kita takutkan dari kematian bukanlah sesuatu yang selayaknya kita takutkan berdasarkan konsep Allah. Ayat 216 memperingatkan kita akan hal ini. Mengapa, dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak 'mendialektikkan' pengalaman-pengalaman kita dengan rahasia ayat ini. Bahkan di dalam surat lain Allah mengemukakan bahwa 'keburukan maupun 'kebaikan' yang menimpa kita dariNya, kedua-duanya adalah cobaan.
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Membaca Al-Baqoroh ayat 11, tidaklah tertera di kesadaran kita hipokrisi politik dewasa ini dengan segala anasir dan variabeinya? Itu siapa tahu barang kali juga menyangkut sebagian pemimpin Kaum Muslimin sendiri, atau justru kita sendiri yang sedikit banyak juga memiliki saham di dalam 'dosa bersama' penumbuhan 'kemunafikan struktural' meskipun mungkin kita tidak menyadarinya, seperti yang disebut oleh ayat 12?
Pernah kita memiliki sahabat-sahabat, kenalan-kenalan, gagasan-gagasan yang kita jumpai di mass media, di forum-forum diskusi, seminar, pidato-pidato, puisi-puisi, atau dalam obrolan-obrolan lepas sehari-hari, yang sesungguhnya dideskripsikan Allah melalui Al-Baqoroh ayat 13? Tidakkah getaran kenyataan yang diungkapkan Allah tersebut kita rasakan kemarin, hari ini, di lingkungan yang karib dengan kesibukan kita, bahkan juga justru di dalam diri kita sendiri? Kemudian kita sendiri jugakah, atau handai tolan kita, atau pemikiran-pemikiran lingkungan yang sering kita dengar, kita baca, kita jumpai, yang sesungguhnya dimaksud oleh ayat 18?
Apakah kita takut mati? Artinya mungkin juga takut pada 'kematian kecil'? Takut kelaparan? Takut soal jaminan hari depan, sehingga lebih mempercayakannya kepada 'buah-buah khuldi' yang dilarang Allah, dibanding mempercayakannya kepada kesetiaan terhadap hukum-hukumNya? Apa gerangan konsep kita tentang kematian? Etos mati yang bagaimana yang hidup dan kita imani selama ini?
Sesuaikah ia atau bertentangankah ia dengan tuntunan Allah di ayat 94 umpamanya?
Apakah kita merasa kecut karena "tidak mungkin melawan arus"? Apakah kita 'terpaksa' menjadi munafiq kemudian setengah mati berusaha menyembunyikan kemunafikan itu dengan menyodor-nyodorkan alasanalasan apologetik dan artifisial untuk dijadikan topeng yang kita pakai di panggung pementasan yang sarat hipokrisi ini? Apa artinya gerangan resiko miskin, kelaparan, sedikit takut, dikucilkan, 'buntu masa depan'?
Apa gerangan makna'kesengajaan cobaan' Allah itu, kemudian isyarat bahagia bagi mereka yang terus setia bersabar, seperti yang diungkapkan oleh ayat 155? Apa pula arti bimbingan Allah agar kita mengucapkan "Sesungguhnya segala sesuatu adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya" (ayat 156) apabila kita menerima musibah-musibah apa pun, tidak hanya 'kematian' ? Dan jika selama ini kita memakai tradisi mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun" setiap kali ada ikhwan kita yang meninggal dunia, marilah kita pertanyakan kembali sesuai dengan konsep Allah kah pengertian kita tentang 'musibah' dan'mati'.
Jangan-jangan apa yang biasanya kita anggap musibah sesunggahnya justru bukan musibah menurut pengertian Allah yang mestinya wajib kita tiru. Jangan-jangan apa yang kita takutkan dari kematian bukanlah sesuatu yang selayaknya kita takutkan berdasarkan konsep Allah. Ayat 216 memperingatkan kita akan hal ini. Mengapa, dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak 'mendialektikkan' pengalaman-pengalaman kita dengan rahasia ayat ini. Bahkan di dalam surat lain Allah mengemukakan bahwa 'keburukan maupun 'kebaikan' yang menimpa kita dariNya, kedua-duanya adalah cobaan.
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Komentar
Posting Komentar