Al-Baqarah Telah Memberi Kita Alarm(v)
Semua itu adalah petunjuk bagi kita untuk merevaluasi berbagai gagasan dan anggapan, sangkaan kita tentang pengalaman sehari-hari, namun sekaligus bisa juga membimbing kita di dalam menilai kembali konsep-konsep masyarakat kita tentang kemajuan, kemakmuran, perkembangan, pembangunan, dan seterusnya.
Kontekstual dengan itu, adalah metafora Allah tentang 'absurditas' watak manusia ketika Ia menceritakan Bani Israil dan Isa as. dalam hal perintah mencari dan menyembelih sapi. Tergambar di situ betapa manusia memiliki kecenderungan untuk menciptakan kesukaran dan problemnya sendiri. Manusia, masyarakat dan kebudayaannya seringkali gagal memilahkan antara butuh dan mau. Kebutuhan dan kemauan. Kalau diterobos lagi : antara keperluan yang murni dengan nafsu. Baik yang tercermin secara individual maupun yang terkandung dalam gagasan-gagasan suatu sisitim bersama, dalam keputusan politik, kebijakan ekonomi, atau pemilihan pola kebudayaan.
Maka pentingnya mempertanyakan kembali anggapan-anggapan, sangkaan-sangkaan tentang kemajuan, modernitas, sukses dan peningkatan. Kita lihat misalnya menyangkut etos innovasi : gairah terhadap sesuatu yang baru dan terus baru lagi. Suatu denyut hidup di mana seseorang atau suatu masyarakat senantiasa memperbaharui diri, senantiasa 'lahir kembali', senantiasa yughoyyiru maa bianfusihim, untuk mengarah ke 'kiblat', yakni baitullah dalam arti yang kualitatif-essensial. Jadi usaha innovasi itu suatu mekanisme taqorrub. Cuma taqorrub ke mana dan ke apa, itu yang menjadi soal. Selama ini yang kita bisa saksikan dalam dunia ilmu pengetahuan, kesenian, serta berbagai kegiatan adab-budaya masyarakat, kita dipimpin oleh suatu 'penguasa sejarah' untuk mentaqorrub tidak ke Allah. Kita, seperti Bard Israil, cenderung menciptakan problemproblem kita sendiri, mengotak-atik suatu gagasan yang kita sangka itu suatu innovasi padahal semu dan mubadzir.
Sementara itu, tidak seperti Bani Israil, sesudah bertanya tentang sapi apa wamanya apa, hakekatnya bagaimana : kita tidak lantas sungguh-sungguh mencarinya, untuk kita sembelih.
Di Surat Al-Baqoroh sapi betina itu adalah lambang subordinasi manusia terhadap kebendaan. Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. Sedangkan kita, kalau tak salah lihat, cenderung semakin memelihara sapi itu, 'sapi-sapi modern', untuk kita sembah, meskipun mulut kita mengaku bahwa hanya Allah satu-satunya sesembahan kita.
Dalam persoalan ini, Al-Baqoroh telah jauh-jauh hari memberi kita alarm.
Demikianlah, tentu dengan rasa was-was, sesungguhnya apa yang telah saya paparkan ini sekadar menjilat rasa asin samudera. Sungguh Maha Kaya Allah, yang ilmuNya hanya bisa saya cicipi amat sedikit namun yang amat sedikit itu pun sudah sangat menguras keringat jiwa dan raga, serta mampu merenggut seluruh energi kebahagiaan kita. Ayat terakhir Al-Baqoroh menuntun kita :
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia memperoleh pahala dari kebajikan yang diperjuangkan serta dari keburukan yang dikerjakannya. Mereka berdoa : Wahai Tuhanku, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Wahai Tuhan kami janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami sesuatu yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang ingkar".
Yogya, 17 Maret 1984
(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongosng Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Kontekstual dengan itu, adalah metafora Allah tentang 'absurditas' watak manusia ketika Ia menceritakan Bani Israil dan Isa as. dalam hal perintah mencari dan menyembelih sapi. Tergambar di situ betapa manusia memiliki kecenderungan untuk menciptakan kesukaran dan problemnya sendiri. Manusia, masyarakat dan kebudayaannya seringkali gagal memilahkan antara butuh dan mau. Kebutuhan dan kemauan. Kalau diterobos lagi : antara keperluan yang murni dengan nafsu. Baik yang tercermin secara individual maupun yang terkandung dalam gagasan-gagasan suatu sisitim bersama, dalam keputusan politik, kebijakan ekonomi, atau pemilihan pola kebudayaan.
Maka pentingnya mempertanyakan kembali anggapan-anggapan, sangkaan-sangkaan tentang kemajuan, modernitas, sukses dan peningkatan. Kita lihat misalnya menyangkut etos innovasi : gairah terhadap sesuatu yang baru dan terus baru lagi. Suatu denyut hidup di mana seseorang atau suatu masyarakat senantiasa memperbaharui diri, senantiasa 'lahir kembali', senantiasa yughoyyiru maa bianfusihim, untuk mengarah ke 'kiblat', yakni baitullah dalam arti yang kualitatif-essensial. Jadi usaha innovasi itu suatu mekanisme taqorrub. Cuma taqorrub ke mana dan ke apa, itu yang menjadi soal. Selama ini yang kita bisa saksikan dalam dunia ilmu pengetahuan, kesenian, serta berbagai kegiatan adab-budaya masyarakat, kita dipimpin oleh suatu 'penguasa sejarah' untuk mentaqorrub tidak ke Allah. Kita, seperti Bard Israil, cenderung menciptakan problemproblem kita sendiri, mengotak-atik suatu gagasan yang kita sangka itu suatu innovasi padahal semu dan mubadzir.
Sementara itu, tidak seperti Bani Israil, sesudah bertanya tentang sapi apa wamanya apa, hakekatnya bagaimana : kita tidak lantas sungguh-sungguh mencarinya, untuk kita sembelih.
Di Surat Al-Baqoroh sapi betina itu adalah lambang subordinasi manusia terhadap kebendaan. Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. Sedangkan kita, kalau tak salah lihat, cenderung semakin memelihara sapi itu, 'sapi-sapi modern', untuk kita sembah, meskipun mulut kita mengaku bahwa hanya Allah satu-satunya sesembahan kita.
Dalam persoalan ini, Al-Baqoroh telah jauh-jauh hari memberi kita alarm.
Demikianlah, tentu dengan rasa was-was, sesungguhnya apa yang telah saya paparkan ini sekadar menjilat rasa asin samudera. Sungguh Maha Kaya Allah, yang ilmuNya hanya bisa saya cicipi amat sedikit namun yang amat sedikit itu pun sudah sangat menguras keringat jiwa dan raga, serta mampu merenggut seluruh energi kebahagiaan kita. Ayat terakhir Al-Baqoroh menuntun kita :
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia memperoleh pahala dari kebajikan yang diperjuangkan serta dari keburukan yang dikerjakannya. Mereka berdoa : Wahai Tuhanku, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Wahai Tuhan kami janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami sesuatu yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang ingkar".
Yogya, 17 Maret 1984
(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongosng Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Komentar
Posting Komentar