Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2009

Rakyat Sebagai Kekasih Sejati

Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2009, orang saling bertanya: ”Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?” Kemudian mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya, atau membiarkan nama- nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai. Atmosfer dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan. Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa, tanah air, dan negara. Itu berlangsung ya di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu ronda, juga di semua lapisan: kantor-kantor profesional, ruangan-ruangan kaum cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja- meja pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih: ada yang berdiam diri bergeming dari posisinya sekarang

MAIYAH PERAMPOK

Mau ke mana kamu Kiri kanan tembok Ke belakang ada jurang Ke depan dikejar hutang Pergi ke masa depan yang mana kamu Perjalananmu dipimpin perampok Di depan sana kamu ditunggu berbagai kelompok Yang masing-masing siap menjadi perampok Kamu dihadang oleh daftar kesengsaraan baru Orang yang mewakilimu menjualmu Orang yang kamu percaya mengkhianati cintamu Karena kamu tak mau belajar apa yang sebenarnya kamu tunggu Perampok-perampok bergilir memperkosamu Janji mereka kamu bayar dengan darah bahkan mautmu Kemudian tetap kamu junjung-junjung di pundakmu Bahkan terus saja kamu bersujud bersimpuh dengan dungu Perampok-perampok berbaju malaikat Perampok-perampok berludah ayat-ayat Perampok-perampok mencuri jubah kebesaran Tuhan Yang lain berbaris jadi pengemis dan pekatik Perampok-perampok berwajah demokrasi Berkaki kepentingan, bertangan keserakahan Perampok-perampok mengelus rambutmu dengan cinta Kemudian menikam punggungmu dengan dengki dan santet Delapan tahun silam kubilang perahu sudah r

Bukan Kesesatan Benar Menusuk Kalbu

Jangankan menjadi Nabi: jadi manusia saja, siapa yang benar-benar lulus? Alangkah mengagumkan sahabat-sahabat yang gagah menyertakan kata Ulama, Kiai, Ustadz, Syekh, Maulana, di depan namanya. Yang tanpa hati ragu memakai surban di kepalanya, mengenakan jubah semampir pundaknya, terlebih lagi rangkaian butir tasbih di jari-jemarinya. Apakah beliau sangat meyakini diri, ataukah setiap kali perlu meyakin-yakinkan diri. Adapun ilmuwan, cendekiawan, seniman, budayawan, Begawan, Undagi, Ulil Abshar, Ulil Albab, Ulin Nuha, terlebih lagi wadag-wadag seperti Profesor, Doktor, Profesional, Pejabat, Presiden: di satu sisi itu adalah perjalanan kebenaran dan kemuliaan, di sisi lain itu adalah "mata'ul ghurur", perhiasan dunia, serta "la'ibun wa lahwun", permainan dan senda gurau. Pakai common sense saja: adakah kaki telah melangkah sebagaimana yang dimaksudkan dulu oleh Peciptanya. Adakah tangan telah mengerjakan mendekati gagasan Pembikinnya. Adakah mata telah melihat

Penyairpun Bukan

Penyairpun bukan Aku hanya tukang Mengembarai hutan Menggergaji kayu Bikin ragangan Mainan pesanan Tuhan Penyairpun bukan Aku hanya pelayan Meladeni cara Meracik kata Mengais rahasia Agar tak mati fana Penyairpun bukan Aku hanya penyelam Menukiki samudera Pulang ke permukaan Membawa batu purba Untuk melempari cakrawala 1986 (Emha Ainun Nadjib/"Cahaya Maha Cahaya"/Pustaka Firdaus/Jakarta/1993/PadhangmBulanNetDok)

Hancurkan Kebinatanganku

Pada setiap raka'at sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap transisi ruku' dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung tanpa ruku'. Ini acuan pertama. Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa karakter atau sifat Allah swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama melakukan shalat. Pertama, tentu saja Allah yang akbar. Lantas ia bagai rabbun. Selanjutnya, rahmân dan rahîm. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai mâlik. Dan akhirnya Allah yang `adhîm dan a`lâ. *** Kedudukan Allah sebagai akbar atau Yang Maha Lebih besar (Ia senantiasa terasa lebih besar, dinamika, tak terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan penemuan kita)—kita ucapkan untuk mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam shalat. Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam penghayatan tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya, melainkan m

MENANGIS

Sehabis sesiangan beker­ja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnenga­jak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam. Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat "iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak perpenghabisan. Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat un­tuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..." Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung. "Hidup manusia harus ber­pijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar", ber­kata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianl

AIR ZAMZAM DI NEGERI COMBERAN

Untuk Dr. HC-nya Gus Mus Di usia sepuhnya, Gus Mus makin gantheng wajahnya dan makin bening cahaya yang memancar dari wajah itu. Bahkan kulit beliau yang aslinya coklat kini menjadi cenderung kuning-putih. Itu bukan wajah Gus Mus yang kita kenal dalam kebudayaan di bumi. Itu langit. Sungguh bikin cemburu. Bagaimana hamba Allah satu ini, semua manusia dari Sabang hingga Merauke diam-diam pada bingung, ambruk, kuyu, frustrasi dan putus asa, meskipun ditutup-tutupi ? dia malah makin sumringah hidupnya, wajahnya tersenyum, seluruh wajahnya tersenyum, bukan hanya bibir beliau: benar-benar seluruh wajah beliau, lagak-laku dan output karakter beliau adalah senyuman. Tiba-tiba muncul makhluk yang bernama Doctor Honoris Causa. Menghampirinya. ‘Ngenger’ kepadanya. Melamarnya untuk menjadi sandangannya. Sudah pasti beliau tersenyum, mengulurkan tangan dan dengan penuh kasih sayang. Menunjukkan sikap menerima, menampungnya, mengakomodasikannya, menggendongnya, mengelus-elusnya. Jauh di dalam kalbu

Sepak Bola Tekno-Birokratik

Sepakbola, sebagai olahraga utama rakyat Indonesia, tergolong komponen garda depan pembangunan yang – mestinya – merupakan pelopor globalisasi. Saya tidak main-main. Sepakbola melibatkan uang milyaran rupiah, jutaan konsumen, fasilitas teknologi tinggi, halaman-halaman khusus media massa, lapangan kerja, pola kreasi dan rekreasi khas masyarakat industrial, bahkan inherent dengan faktor-faktor industrial lainnya seperti transportasi stage and lighting system, dokter dan psikolog, hizib para kiai, jopa-japi para dukun, dan seribu satu faktor lagi yang tidak bisa disebut satu per satu. Kalau anda bicara globalisasi berarti memperbincangkan peralihan budaya masyarakat dari pola budaya tradisional–agraris menuju pola modern–industrial. Itulah substansi utama globalisasi. Apakah anda menemukan perbedaan antara sepakbola agraris dengan sepakbola industrial? Kita selalu menyebut bahwa sepakbola adalah olahraga rakyat. Itu artinya bahwa sepakbola adalah bagian integral dari kebudayaan masyaraka

Sedang Tuhanpun Berbagi (iv)

Sejauh saya mengerti, yang menjadi pokok soal dalam Islam ialah bagaimana kekayaan diperoleh dan bagaimana derita kemiskinan sampai diperoleh. Yang diajarkan oleh Islam bukanlah 'kaya' atau 'miskin', melainkan sikap terhadap kekayaan dan kemiskinan. Termasuk juga sikap terhadap kemunkaran sistem yang mengatur adil tidaknya harta a-lam ini dibagi kepada manusia. Sikap tersebut tak lain adalah bagian dari spiritualitas. Bagian lain dari spiritualitas ialah panggraita, meraba lebih dalam terhadap ada tidaknya nasib. Lihatlah kartu domino. Kartu-kartu sudah tertentu. Berbagai kernungkinan permainan juga bisa dipelajari. Namun persoalan pembagian kartu, kapasitas manusia hanya mengocoknya. Silahkan lakukan seratus atau seribu kocokan, tapi Anda tidak bisa menentukan apa dan bagaimana kartu Anda. Anda tidak bisa menjamin bahwa Anda akan bebas clan balak-6. Ada faktor X, peranan lain di Mar diri manusia yang dikandung oleh permainan domino. Atau sepakbola. Silahkan bikin coach

SEPAK BOLA SEBAGAI GEJALA SEJARAH

Saya tidak sungguh-sungguh mengenal – apalagi menguasai seluk beiuk – dunia sepakbola. Saya sekedar menyukainya. Pengetahuan saya mengenai tehnik persepakbolaan, sejarahnya, petanya di negeri ini dan di dunia, siapa saja nama pemain-pemainnya – amat sangat terbatas dan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan pengetahuan Anda. Indikator bahwa di dalam hidup saya ada sepakbola hanyalah bahwa di kedua kaki saya terdapat banyak bekas luka karena main sepakbola ndeso di masa kanak-kanak dan masa muda saya. Selebihnya, saya juga bukan penonton setia pertandingan-pertandingan sepakbola di level manapun. Bukan pula pemerhati perkembangan dunia sepakbola. Bahasa jelasnya: dalam soal persepakbolaan, saya sama sekali seorang awam. Seorang penggembira yang mensyukuri bahwa pernah ada seseorang, suatu kelompok atau sebuah masyarakat yang kreatif menemukan kenikmatan ‘budaya’ yanq disebut sepakbola. Adapun kalau sesekali saya menulis di media massa tentang sepakbola, ada sejumlah sebab. Menulis d