Besar dan Kecil, Permainan Apa, Bu?
Besar dan kecil. Besar kecil.
permainan apa sesungguhnya itu, Bu?
Ibu mengerjakan besar dan kecil hanya berlaku bagi kedudukan antara Tuhan dan manusia. Selebihnya kata besar dan kecil kita pakai hanya sebagai bahasa, tidak sebagai hakekat.
Namun anak-anakmu meniup balonbalon besar untuk menyembunyikan kekecilannya—tidak di hadapan Allah --melainkan di hadapan manusia atau sesuatu lainnya. Anak-anakmu belum memerdekakan dirinya dari struktur kasta besar kecil yang menapasi hampir semua segi perhubungan antara manusia.
Sungguh, di hadapan Ibu anakmu harus bertanya dengan perasaan mendalam, kenapa belum bisa dihindarkan berlangsungnya tatanan yang demikian keras membedakan antara yang kecil dengan yang besar?
Orang derajat kecil orang derajat besar?
Ekonomi kecil ekonomi besar? Kesudraan sosial kecil kepriyaian sosial besar? Serdadu ilmu kecil dan ksatriya ilmu besar? Rendah diri dan besar kepala?
Pertanyaan itu harus dipelihara seperti menjaga mutiara hati kecil yang tak pernah terlihatdan amat jarang
disadari. Pertanyaan itu menyimpan cita-cita yang tidak masuk akal, namun lebih tak masuk akal lagi apabila kita membatalkannya sebagai cita-cita.
Pertanyaan itu harus disirami kesuburannya, seperti kita diam-diam tak pernah melepaskan nurani yang teramat lembut, meskipun ia menjadi bahan tertawaan di tengah kesibukan pasar, di riuh lalulintas yang pusing kepala. ‘
kita tidak perlu menjadi nabi untuk menanganpanjangi keterangan Allah yang selama ini diremehkan orang. “Siapa bersyukur akan kutambahkan rahmat- Ku, siapa ingkar akan kusiksa sedahsyat-dahsyatnya.“ Kita tidak harus beridentitas Rasul untuk mengabarkan rasa takut kepada- Nya yang menegaskan “Afahasibtum
annama khalaqnakum ‘‘abatsa.“ (kalian pikir Kuciptakan semua ini untuk iseng-iseng?). (EAN)
(Emha Ainun Nadjib/"Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu-Sekelumit Catatan
Harian"/2000/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
permainan apa sesungguhnya itu, Bu?
Ibu mengerjakan besar dan kecil hanya berlaku bagi kedudukan antara Tuhan dan manusia. Selebihnya kata besar dan kecil kita pakai hanya sebagai bahasa, tidak sebagai hakekat.
Namun anak-anakmu meniup balonbalon besar untuk menyembunyikan kekecilannya—tidak di hadapan Allah --melainkan di hadapan manusia atau sesuatu lainnya. Anak-anakmu belum memerdekakan dirinya dari struktur kasta besar kecil yang menapasi hampir semua segi perhubungan antara manusia.
Sungguh, di hadapan Ibu anakmu harus bertanya dengan perasaan mendalam, kenapa belum bisa dihindarkan berlangsungnya tatanan yang demikian keras membedakan antara yang kecil dengan yang besar?
Orang derajat kecil orang derajat besar?
Ekonomi kecil ekonomi besar? Kesudraan sosial kecil kepriyaian sosial besar? Serdadu ilmu kecil dan ksatriya ilmu besar? Rendah diri dan besar kepala?
Pertanyaan itu harus dipelihara seperti menjaga mutiara hati kecil yang tak pernah terlihatdan amat jarang
disadari. Pertanyaan itu menyimpan cita-cita yang tidak masuk akal, namun lebih tak masuk akal lagi apabila kita membatalkannya sebagai cita-cita.
Pertanyaan itu harus disirami kesuburannya, seperti kita diam-diam tak pernah melepaskan nurani yang teramat lembut, meskipun ia menjadi bahan tertawaan di tengah kesibukan pasar, di riuh lalulintas yang pusing kepala. ‘
kita tidak perlu menjadi nabi untuk menanganpanjangi keterangan Allah yang selama ini diremehkan orang. “Siapa bersyukur akan kutambahkan rahmat- Ku, siapa ingkar akan kusiksa sedahsyat-dahsyatnya.“ Kita tidak harus beridentitas Rasul untuk mengabarkan rasa takut kepada- Nya yang menegaskan “Afahasibtum
annama khalaqnakum ‘‘abatsa.“ (kalian pikir Kuciptakan semua ini untuk iseng-iseng?). (EAN)
(Emha Ainun Nadjib/"Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu-Sekelumit Catatan
Harian"/2000/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
Komentar
Posting Komentar