Korupsi sebagai Kasus Penyakit Jiwa(i)
Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari pamong-pamong desa hingga yang paling atas.
Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir, bahkan pun sampai di sekitar koper dan surban ratusan ribu para calon haji.
Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit, dan detik.
Korupsi menjadi salah satu "sahabat" sehari-hari kita. Korupsi menjadi salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini, bangsa yang selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesarbesarkan dirinya ini.
Korupsi atas uang orang banyak.
Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.
Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah langsung.
Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat merasa "GR", tak tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah atasannya rakyat.
Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsip-prinsip dasar kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturanaturan.
Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di sel-sel dan jaringan otak mereka.
Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan "petunjuk". Kegilaan nasional kita semua dalam menggunakan kosakata "petunjuk"--tak lain tak bukan--adalah perbuatan takabur kepada Tuhan, pemilik tunggal hidayah.
Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu tetapi tak boleh ada dua atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka tak diperlukan persatuan atau pun kesatuan.
Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai korupsi atas kasunyatan yang lembut, yang amat.
Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara, gelondongan kayu, sampai korupsi atas informasi mengenai para nabi dan Tuhan.
Korupsi informasi tak hanya di koran-koran yang memasang jargon maha indah di leher penampilannya.
Korupsi dari tingkat yang halus ringan dan hanya merugikan nilai itu sendiri serta yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar-besaran yang memotong usus nasib berjuta-juta orang.
Korupsi d kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, gubernur, di rombongan kloter sekian di hotel-hotel Madinah, di batok kepala orang-orang yang setiap saat dijunjung-junjung sebagai pemimpin--sampai si terjunjung sampai percaya bahwa ia memang benar-benar manusia yang tak pernah korup dan layak dijunjung-junjung, dipikul dhuwur dan kelak dipendhem jero.
Korupsi tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan bersama, ditutupi dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum wewangian retorika dan excusing yang bisa didaftar berpuluh-puluh dari berbagai sudut, sisi, dan disiplin.
Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari.
Menjadi "naluri alamiah" tradisi kebudayaan kita.
Menjadi makanan pokok sehari-hari.
Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak melakukannya.
Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan pribadi, maupun karena secara kolektif tak pernah ada jaminan bahwa kalau seseorang tidak korup maka lainnya pun tidak.
(bersambung ====>>)
(Emha Ainun Nadjib/"Titik Nadir Demokrasi, Kesunyian Manusia dalam Negara"/1999/Zaituna/PadhangmbulanNetDok)
Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir, bahkan pun sampai di sekitar koper dan surban ratusan ribu para calon haji.
Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit, dan detik.
Korupsi menjadi salah satu "sahabat" sehari-hari kita. Korupsi menjadi salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini, bangsa yang selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesarbesarkan dirinya ini.
Korupsi atas uang orang banyak.
Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.
Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah langsung.
Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat merasa "GR", tak tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah atasannya rakyat.
Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsip-prinsip dasar kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturanaturan.
Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di sel-sel dan jaringan otak mereka.
Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan "petunjuk". Kegilaan nasional kita semua dalam menggunakan kosakata "petunjuk"--tak lain tak bukan--adalah perbuatan takabur kepada Tuhan, pemilik tunggal hidayah.
Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu tetapi tak boleh ada dua atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka tak diperlukan persatuan atau pun kesatuan.
Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai korupsi atas kasunyatan yang lembut, yang amat.
Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara, gelondongan kayu, sampai korupsi atas informasi mengenai para nabi dan Tuhan.
Korupsi informasi tak hanya di koran-koran yang memasang jargon maha indah di leher penampilannya.
Korupsi dari tingkat yang halus ringan dan hanya merugikan nilai itu sendiri serta yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar-besaran yang memotong usus nasib berjuta-juta orang.
Korupsi d kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, gubernur, di rombongan kloter sekian di hotel-hotel Madinah, di batok kepala orang-orang yang setiap saat dijunjung-junjung sebagai pemimpin--sampai si terjunjung sampai percaya bahwa ia memang benar-benar manusia yang tak pernah korup dan layak dijunjung-junjung, dipikul dhuwur dan kelak dipendhem jero.
Korupsi tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan bersama, ditutupi dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum wewangian retorika dan excusing yang bisa didaftar berpuluh-puluh dari berbagai sudut, sisi, dan disiplin.
Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari.
Menjadi "naluri alamiah" tradisi kebudayaan kita.
Menjadi makanan pokok sehari-hari.
Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak melakukannya.
Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan pribadi, maupun karena secara kolektif tak pernah ada jaminan bahwa kalau seseorang tidak korup maka lainnya pun tidak.
(bersambung ====>>)
(Emha Ainun Nadjib/"Titik Nadir Demokrasi, Kesunyian Manusia dalam Negara"/1999/Zaituna/PadhangmbulanNetDok)
Komentar
Posting Komentar