REMEH DAN KERDIL
Aku mengalami kehidupan yang remeh yang dihuni oleh penduduk kerdil.
Aku warga dari suatu negara yang sangat penuh berisi segala sesuatu yang remeh-remeh, dengan para penghuni yang sangat mengagumi kekerdilan.
Aku rakyat dari suatu pemerintahan kerdil yang menjalankan periode-periode remeh.
Aku bagian dari perjalanan sejarah suatu mesyarakat kerdil yang sangat sibuk menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang remeh.
Aku dilingkupi oleh kebudayaan kerdil dengan perilaku-perilaku yang remeh.
Oleh ilmu-ilmu remeh yang disangka kehebatan oleh para pemuja kekerdilan.
Oleh pembangunan remeh yang menghasilkan bangunan-bangunan kekerdilan.
Oleh pertimbangan-pertimbangan peradaban yang remeh untuk berpanjang lebar memperjuangkan monumen-monumen kekerdilan.
Oleh ideologi-ideologi besar yang semakin diterapkan semakin memperjelas keremehan dan kekerdilan pelakunya.
Oleh karya-karya remeh yang penciptanya merasa besar sehingga kerdil.
Oleh tayangan-tayangan remeh yang pembuatnya sangat membangggakannya dan memerlukan puluhan tahun serta penderitaan di akhir kehidupan untuk memahami yang mereka lakukan adalah kekerdilan.
Oleh remehnya kekerdilan kepemimpinan.
Oleh kerdilnya organisasi dan institusi remeh.
Oleh produksi kerdil dan konsumsi remeh.
Oleh sekolahan kerdil dan gelar-gelar remeh.
Oleh diskusi kerdil dan ceramah remeh.
Oleh cita-cita hidup yang remeh yang disangka kehebatan sehingga satu persatu kaki kekerdilannya tersandung batu zaman.
Bahkan oleh perilaku ibadah dengan penghayatan kerdil an perjuangan yang pijakannya adalah keremehan sehingga goalnya hanya dua: kekerdilan atau keremehan.
Oleh suatu bangsa yang sangat bergembira dan menikmati segala yang remeh-remeh. Dan yang paling remeh dari segala yang remeh itu adalah bahwa kami semua sama sekali tidak mengerti bahwa itu semua adalah remeh.
Lebih remeh lagi karena kami marah kalau ada yang menyebut kehidupan kami sangat bergelimang keremehan-keremehan...
(Emha Ainun Nadjib/"Isteriku Seribu"/PROGRESS/2007/PadhangmBulanNetDok)
Aku warga dari suatu negara yang sangat penuh berisi segala sesuatu yang remeh-remeh, dengan para penghuni yang sangat mengagumi kekerdilan.
Aku rakyat dari suatu pemerintahan kerdil yang menjalankan periode-periode remeh.
Aku bagian dari perjalanan sejarah suatu mesyarakat kerdil yang sangat sibuk menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang remeh.
Aku dilingkupi oleh kebudayaan kerdil dengan perilaku-perilaku yang remeh.
Oleh ilmu-ilmu remeh yang disangka kehebatan oleh para pemuja kekerdilan.
Oleh pembangunan remeh yang menghasilkan bangunan-bangunan kekerdilan.
Oleh pertimbangan-pertimbangan peradaban yang remeh untuk berpanjang lebar memperjuangkan monumen-monumen kekerdilan.
Oleh ideologi-ideologi besar yang semakin diterapkan semakin memperjelas keremehan dan kekerdilan pelakunya.
Oleh karya-karya remeh yang penciptanya merasa besar sehingga kerdil.
Oleh tayangan-tayangan remeh yang pembuatnya sangat membangggakannya dan memerlukan puluhan tahun serta penderitaan di akhir kehidupan untuk memahami yang mereka lakukan adalah kekerdilan.
Oleh remehnya kekerdilan kepemimpinan.
Oleh kerdilnya organisasi dan institusi remeh.
Oleh produksi kerdil dan konsumsi remeh.
Oleh sekolahan kerdil dan gelar-gelar remeh.
Oleh diskusi kerdil dan ceramah remeh.
Oleh cita-cita hidup yang remeh yang disangka kehebatan sehingga satu persatu kaki kekerdilannya tersandung batu zaman.
Bahkan oleh perilaku ibadah dengan penghayatan kerdil an perjuangan yang pijakannya adalah keremehan sehingga goalnya hanya dua: kekerdilan atau keremehan.
Oleh suatu bangsa yang sangat bergembira dan menikmati segala yang remeh-remeh. Dan yang paling remeh dari segala yang remeh itu adalah bahwa kami semua sama sekali tidak mengerti bahwa itu semua adalah remeh.
Lebih remeh lagi karena kami marah kalau ada yang menyebut kehidupan kami sangat bergelimang keremehan-keremehan...
(Emha Ainun Nadjib/"Isteriku Seribu"/PROGRESS/2007/PadhangmBulanNetDok)
Komentar
Posting Komentar