Teokrasi Islam Sebagai Persoalan Ilmu dan Sebagai Persoalan Politik

Aplikasi Khilafiah
Proses pelaksanaan khilafiah mungkin bisa dimetaforkan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
Allah menciptakan tanah, manusia membuat keramik, Allah menganugerahkan padi, manusia mengolahnya menjadi beras dan nasi, Allah menciptakan alam, manusia membudayakannya, atau menjadikannya bagian dari kebudayaan dan peradaban.
Alam materi dan tumbuh-tumbuhan adalah alam pasif. Hewan adalah alam aktif tanpa kesadaran akal dan tanpa firman. Manusia adalah alam aktif dengan kesadaran akal dan dengan firman.
Materi, tumbuh-tumbuhan dan hewan memiliki "spiritualitas otomatik" dan kepatuhan natural kepada sistem nilai ciptaan Tuhan (hukum alam, sunnatullah).
Akal memungkinkan manusia menyadari spiritualitasnya, sehingga mampu mensikapi dan mensubyeki hubungan kehidupannya dengan sistem nilai Tuhan. Itulah surnber kesederajatan manusia, demokrasi politik, kemerataan ekonomi dan keindahan kebudayaan.
Namun jusfru karena itu kepatuhan materi, tumbuhtumbuhan dan hewan bersifat pasti, sedangkan kepatuhan manusia bersifat mungkin.
Dengan demildan tatkala manusia mengkhalifahi atau mengakali tiga realitas ciptaan Allah (alam semesta, manusia dan firman), yang berlangsung adalah kemungkinankernungkinan. Yaitu kemungkinan untuk benar atau untuk salah. Kemungkinan untuk baik atau untuk buruk, untuk selamat atau untuk hancur.
Juga ketika pengakalan itu tiba pada ijtihad dan tafsir ilmu, ideologi sistem-sistem nilai serta penerapannya ia berada di antara dua kemungkinan itu.
Setiap zaman, setiap era peradaban, pada hakekatnya merupakan tahap-tahap tajribah atau eksperimentasi yang tidak ada hentinya. Dengan demikian ketika manusia menyepakati untuk memilih kebersamaan hidup dalam umpamanya format "negara", "negara sekular", "negara Islam", atau apapun saja-secara keilmuan harus dilihat sebagai dinamika ijtihad atau proses pencarian, pengubahan, perombakan dan pembaruan yang
tidak final.

Membaca Inti Realitas Negara, Teokrasi dan Islam
Islam membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kemungkinan bentuk penerapan dan penataan kedaulatan dalam masyarakat manusia. Yang menjadi ukuran utama bukan pola institusionalisasinya, melainkan apakah prinsip moralitas dan aplikasi khilafiahnya dipenuhi atau tidak.
Mungkin kita tetap memilih Negara, dengan segala kesepakatan tentang sistem kedaulatannya; meskipun pada tingkat tertentu sejumlah legalitas sistem harus dibuat dengan mengandaikan bahwa "manusia tidak bisa dipercaya".
Mungkin pada suatu hari terjadi hal-hal yang istimewa seperti bencana alam total atau Perang Dunia ke-3 yang relatif menghancurkan tatanan-tatanan pokok peradaban negara, sehingga kemudian kita memilih bentuk qaryah saja, semacam small is beautiful', di mana manusia mengikatkan diri dalam semacam lirigkar koloni-koloni kecil, dan pola-pola perhubungan politis, hukum dan budayanya diusahakan tetap "mengandalkan manusia"
Atau berbagai kemungkinan lain. Islam tidak membatasinya, kecuali mempedomankan moralitas khilafiah atau acuan keilahian: dengan menyerahkan kepada manusia apakah hal itu diserahkan hanya kepada otoritas permanusia, ataukah di legalisasikan secara institusional.
Sejauh ini iklim pemikiran dunia mengenai kedaulatan politik sangat diwarnai oleh antara lain trauma Abad Pertengahan Eropa di mana otoritas keagamaan atau keilahian dimanipulasi, dieksploitasikan untuk kepentingan suprastruktur kepemerintahan suatu negara. Sesungguhnya sejumlah ilmu, pemikirari ideologi pokok yang berlaku pada abad 19 dan 20 merupakan "anak berontak" terhadap tipologi "bapak" middle age semacam itu. Perspektif demokrasi, "hati" kom-unisme dan "kepalan tangan" marxisme, secara historis
dialektis "digambar" oleh 'rbapak" tersebut.
Pada gilirannya Agama dan Tuhan menjadi korban atau kambing hitam tanpa henti-hentinya, karena ilmu pengetahuan ummat manusia sampai akhir abad 20 tidak kunjung mampu mengurai secara jemih dimensi nilai murni Tuhan dan Agama dari praktek-praktek sejarah yang memanipulasikannya.
Tidak mengherankan apabila segala berita tentang teokrasi akan masih langsung "menyakitkan hati". Kalau o-rang tidak bisa meredusir "racun" dari "minuman", maka yang di-buang ke dalam got bukan hanya racun, tetapi juga minu-mannya. Apabila dalam skala peradaban global: kemung-kinan untuk memilah racun dari minuman barang kali membutuhkan jangka waktu yang sangat tidak sebentar.
Islam "ketiban sial" pada momentum belum teruraikannya racun dari minuman selama ini. Persepsi dunia tentang "Fundamentalisme Islam" sangat bias. Setiap kemurigkinan tumbuhnya Teokrasi Islam akan secara otomatis dianggap merupakan ancaman terhadap demokrasi. Hari-hari FIS dihajar dan coba dimusnahkan oleh pemerintahan nasional Aljazair: secara rasional dunia sudah bisa memberi peringatan "Jangan korban
demokrasi!". Tetapi secara psikologis pada akhirnya akan disepakati bahwa intuk sementara secara darurat demokrasi memang tidak ipa-apa dikorbankan, karena toh itu merupakan "pilihan rang lebih baik" dibanding apabila gerakan fundamentalisne Islam dibiarkan hidup.
Sampai awal abad 21 Islam herada di "tanah genting" (meminjarn istilah KH Muhammad Zuhri), yakni "di garis pertemuan antar dua gelombang laut, suatu posisi yang sangat mempelesetkan: namun justru di tempat itulah ikan mati bekal Nabi Musa yang dibawa oleh Dzun-Nun sahabatnya menjadi hidup kembali".

Artinya, ini justru bisa merupakan awal dari momentum kebangkitan).
Iklim "tanah genting" berlangsung juga secara nasional di Indonesia. Pemikiran-pemikiran Islam mutakhir ambil contoh pandangan-pandangan KH Abdurahman Wahid serta sepak terjangnya membawa Nahdlatul Ulama merefleksikan suatu "keadaan tiarap" tertentu. Islam "disembunyikan" dari probabilitas kekuasaan dalam Negara, dan lebih mengendalikan diri sebagai semacam "pohon pionir". Pengejawantahan Islam lebih
diletakkan tiang bendera, melainkan "jadilah" muatan-muatan yang mensifati bendera apapun.(selesai)
Dies Natalis Ull Yogyakarta 12 Februari 1992

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Iman, Islam, dan Ihsan - Trilogi Risalah Islam

Pengertian Mubahalah dan Risikonya

2932. NAJISKAH MUNTAHAN BAYI ?