KEKHAWATIRAN NABI ADANYA GENERASI YANG MENJADIKAN AL-QUR'AN SEBAGAI NYANYIAN
(Arrahmah.com) – Al-Qur’an dinyanyikan dengan nyanyian Jawa untuk Apa? Ada apa dibalik itu? Dari awal saya hanya mempersoalkan Al-Qur’an dinyanyikan pakai nyanyian Jawa di Istana, malam 27 Rajab 1436H/ 15 Mei 2015, yang belakangan diakui atas inisiatif Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin.
Rupanya banyak orang tidak hati-hati, tapi langsung bicara padahal tidak faham maksud dari lafal “langgam Jawa” dalam berita-berita tentang baca Al-Qur’an dengan langgam Jawa itu.
Mereka memahami, langgam Jawa itu gaya Jawa, atau cengkok, atau corak aksen Jawa. Padahal langgam di situ maknanya nyanyian. Bukan sekadar cengkok, corak ataupun gaya Jawa, tetapi adalah nyanyian Jawa, dan dalam membaca Al-Qur’an itu dipraktekkan dengan nyanyian Dandanggulo.
Nyanyian Dandanggulo ya jenis nyanyian, maka penyanyinya ya penyanyi, biasanya disebut sinden atau waranggono bahkan ledek, kalau bahasa Arab mungkin muthrib. Sehingga, ketika Al-Qur’an dibaca dengan nyanyian Dandanggulo, maka berarti menyanyikan Al-Qur’an dengan nyanyian Dandanggulo. Di situ jelas Al-Qur’an telah dijadikan nyanyian. Padahal ada hadits Nabi saw yang mengkhawatirkan adanya generasi yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian.
Jadi sebenarnya pembicaraan tidak ada sangkut pautnya dengan langgam Al-Qur’an, tetapi adalah menyanyikan Al-Qur’an dengan jenis nyanyian Jawa. Faham?
Untuk sekedar analogi, walau ini tidak persis, misalnya orang menyetir kendaraan bermotor padahal dia dalam keadaan habis nenggak miras (minuman keras), katakanlah mabuk. Itu telah ada larangannya, tercakup dalam kategori menyetir dalam keadaan membahayakan nyawa atau barang. Pasal 311 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (“UU 22/2009″),
Pasal 311 UU 22/2009 :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). (hukumonline.com).
Orang nyetir kendaraan bermotor dalam keadaan mabok karena minuman keras ataupun lainnya itu sudah termasuk dalam keadaan membahayakan. Jadi sudah termasuk dalam larangan, tidak perlu diteliti dulu benar cara nyetirnya atau tidak. Karena keadaan setelah minum miras (dalam keadaan mabuk) lalu menyetir itu sendiri sudah membahayakan.
Demikian pula, Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam telah khawatir akan adanya generasi yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian. Lantas ada orang yang membaca Al-Qur’an di istana negara di Jakarta, bacaan Al-Qur’annya itu dengan nyanyian Jawa, jenis Dandanggulo, salah satu jenis nyanyian Jawa Macapat. Nyanyian Dandanggulo itu sendiri lebih ternikmati oleh para penikmatnya bila diiringi gamelan (alat musik, haram dalam Islam, lihat Hadits Al-Bukhari), dan dinyanyikan oleh sinden atau waranggono atau bahkan ledek, yang mungkin bahasa Arabnya muthrib/muthribah.
Ketika jelas-jelas seperti itu, maka tidak dapat diartikan lain, kecuali menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian. Padahal, jelas ada haditsnya tentang kekhawatiran Nabi saw atas umat ini akan adanya generasi yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian.
Tilawah Al-Qur’an Langgam Jawa - Peringatan Isra' Mi'raj Di Istana Negara
Hadits Rasulullah SAW:
Dari Auf bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Aku khawatir atas kamu sekalian enam: pemerintahan orang-orang yang bodoh, penumpahan darah, jual hukum, memutus (tali) persaudaraan/ kekerabatan, generasi yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian, dan banyaknya polisi (aparat pemerintah, yang berarti banyak kedhaliman). (HR Thabrani, shahih menurut Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ hadits no. 216).
Jadi, persoalannya bukan menyangkut ilmu-ilmu qiroat, tetapi adalah menyanyikan Al-Qur’an dengang nyanyian Jawa. Berarti itu adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian. Itu jelas tidak sesuai, bahkan menjadi masalah yang dikhawatirkan oleh Nabi saw. Maka dalam hal (telah salah karena menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian) itu tidak ada kaitannya langsung, apakah bacaannya benar atau tidak.
Sekalipun bacaannya benar, maka tetap tidak bisa jadi alasan untuk menepis tindakan salah menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian itu. Hanya saja, kalau ternyata bacaannya salah, maka tambah lagi persoalannya. Jadi, kalau toh bacaannya benar, tidak akan mengurangi kesalahan tentang menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian. Sedang kalau bacaannya salah, maka berarti tambah lagi kesalahannya.
Ketika menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian, bisa dibilang tidak menggubris sabda Nabi saw tersebut. Dan kalau itu yang mengadakan adalah suatu pemerintahan, maka dikhawatirkan tergolong yang diancam dalam hadits berikut ini.
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ka’b bin’ Ujroh, “Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh”, (Ka’b bin ‘Ujroh Radliyallahu’anhu) bertanya, apa itu kepemerintahan orang bodoh? (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda: “Yaitu para pemimpin negara sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku, barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka serta menolong mereka atas kedholiman mereka maka dia bukanlah golonganku, dan aku juga bukan termasuk golongannya, mereka tidak akan datang kepadaku di atas telagaku, barang siapa yang tidak membenarkan mereka atas kebohongan mereka, serta tidak menolong mereka atas kedholiman mereka maka mereka adalah golonganku dan aku juga golongan mereka serta mereka akan mendatangiku di atas telagaku. (Musnad Ahmad No.13919, shahih lighairihi menurut Al-Albani dalam Shahih at-Targhib).
Ada apa dibalik itu?
Semoga umat Islam faham persoalan ini. Hati-hati dan waspadalah. Sudah ada gejala untuk mengembalikan Islam kepada kemusyrikan dengan aneka cara, di antaranya ketua umum NU Said Aqil Siradj dan orang libral telah mengusung apa yang dinamai Islam Nusantara. Ada orang yang menganalisa tentang Islam Nusantara itu, dan disimpulkan arahnya adalah sinkretisme.
Kalau sampai itu mengembalikan kepada keyakinan batil-kemusyrikan, maka telah diancam dalam surat Al-Baqarah, dosanya lebih besar dibanding membunuh.
Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. (QS Al-Baqarah: 191)
Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. (QS Al-Baqarah: 217).
Arti fitnah dalam ayat ini adalah pemusyrikan, yaitu mengembalikan orang mu’min kepada kemusyrikan. Itu dijelaskan oleh Imam At-Thabari dalam tafsirnya:
Dari Mujahid mengenai firman Allah ia berkata : mengembalikan (memurtadkan) orang mu’min kepada berhala itu lebih besar bahayanya atasnya daripada pembunuhan. (Tafsir At-Thabari juz 3 halaman 565).
Itulah betapa dahsyatnya pemusyrikan yang kini justru digalakkan secara intensif dan sistematis, masih pula ditemani secara mesra oleh mereka yang tidak menyayangi iman Umat Islam. Relakah generasi Muslim yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia bahkan merupakan penduduk yang jumlah Muslimnya terbesar di dunia ini dibunuhi imannya secara sistematis?
Komentar
Posting Komentar