Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2009

MENABUNG SORGA

Diam-diam Allah menganugerahkan anjuran agar manusia tidak mengumbar dan menghabis-habiskan kegembiraan dan pesta pora sesuai bulan Ramadhan. Mungkin agar tabungan kebahagiaan kita di sorga bisa bertumpuk sebanyak-banyaknya. Makan jangan terlalu banyak. Kita dididik untuk belajar ngincipi sejumput makanan, dan selebihnya kita nikmati dengan cara memandanginya saja, untuk kita investasikan untuk kegembiraan yang lebih tinggi kelak. Justru itulah nikmatnya berpuasa. Menahan diri di depan makanan dan kenikmatan. Bukankah sehari sesudah Idul Fitri, justru tatkala kita sedang berada di puncak kemenangan dan pesta -- Allah malah men-sunnat-kan kita untuk melakukan puasa Syawal, yang produk pahala, kemuliaan dan kenikmatannya berlipat-lipat? (Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (179)/1999/PadhangmBulanNetDok)

PERAN SENYUMAN DALAM PEMBANGUNAN

Seorang istri, yang bermurah hati untuk tersenyum tatkala menyambut suaminya datang, menurut Rasulullah akan diganjar kemuliaan oleh Allah setingkat pahala orang melakukan shalat tarawih. Tentu saja itu bukan anjuran agar para istri sebaiknya tak usah bertarawih, asalkan ia selalu tersenyum kepada suaminya. Sesungguhnya kalau kita murah senyum, pergaulan akan lebih indah, hangat dan segar. Namun demikian atas seulas senyum, sahabat-sahabat kita bisa selalu tanpa sadar menyiapkan seribu penafsiran. Kalau sambil jalan di trotoar kita senyum terus, orang bisa menyangka kita sinting. Kalau dalam situasi berdesakan di bis kota kita tersenyum dan pandangan mata kita mengarah ke seseorang yang hatinya sedang gundah, kita bisa ditonjok karena dia tersinggung atau merasa diejek. Atau kalau sebagai wanita cantik Anda tersenyum kepada saya, lantas ternyata saya GR dan diam-diam menafsirkan bahwa senyuman Anda itu bermakna cinta atau naksir - misalnya -- lantas ternyata tidak ada kelanjutan tindak

MODE BUDAYA AGAMA

Agama, karena di dalamnya terkandung ilmu dan potensialitas budaya, bisa menjadi cermin yang jernih dan bening. Termasuk bulan Ramadhan, di mana tradisi puasa dihiasi dengan berbagi bentuk kultur. Yang terpantul dari cermin bening Ramadhan bukan hanya kadar kesalehan kita, mutu iman kita, atau kualitas cinta kita kepada Allah -- tetapi bisa juga tercermin kelemahan kita, kekurangan kita, bahkan kemunafikan kita. Misalnya, sebagai masyarakat modern kita sangat sayaaaaaang banget terhadap budaya mode. Sehingga kecenderungan dan muatan mode juga sangat memenuhi perilaku budaya Agama kita, termasuk Ramadhan. Kita sering terjebak untuk memperagakan barang tertentu yang dalam kehidupan nyata tak pernah kita pakai. Kita mengiklankan, mempromosikan dan mensosialisasikan sesuatu yang kita tak perlu setia kepadanya. Sungguh sangat menakutkan kalau puasa, Ramadhan dan Agama kita jebak juga menjadi semacam mode yang kita peragakan -- meskipun tak berarti sepenuhnya kehadiran kita itu acting belaka

Besar dan Kecil, Permainan Apa, Bu?

Besar dan kecil. Besar kecil. permainan apa sesungguhnya itu, Bu? Ibu mengerjakan besar dan kecil hanya berlaku bagi kedudukan antara Tuhan dan manusia. Selebihnya kata besar dan kecil kita pakai hanya sebagai bahasa, tidak sebagai hakekat. Namun anak-anakmu meniup balonbalon besar untuk menyembunyikan kekecilannya—tidak di hadapan Allah --melainkan di hadapan manusia atau sesuatu lainnya. Anak-anakmu belum memerdekakan dirinya dari struktur kasta besar kecil yang menapasi hampir semua segi perhubungan antara manusia. Sungguh, di hadapan Ibu anakmu harus bertanya dengan perasaan mendalam, kenapa belum bisa dihindarkan berlangsungnya tatanan yang demikian keras membedakan antara yang kecil dengan yang besar? Orang derajat kecil orang derajat besar? Ekonomi kecil ekonomi besar? Kesudraan sosial kecil kepriyaian sosial besar? Serdadu ilmu kecil dan ksatriya ilmu besar? Rendah diri dan besar kepala? Pertanyaan itu harus dipelihara seperti menjaga mutiara hati kecil yang tak pernah terlihat

REMEH DAN KERDIL

Aku mengalami kehidupan yang remeh yang dihuni oleh penduduk kerdil. Aku warga dari suatu negara yang sangat penuh berisi segala sesuatu yang remeh-remeh, dengan para penghuni yang sangat mengagumi kekerdilan. Aku rakyat dari suatu pemerintahan kerdil yang menjalankan periode-periode remeh. Aku bagian dari perjalanan sejarah suatu mesyarakat kerdil yang sangat sibuk menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang remeh. Aku dilingkupi oleh kebudayaan kerdil dengan perilaku-perilaku yang remeh. Oleh ilmu-ilmu remeh yang disangka kehebatan oleh para pemuja kekerdilan. Oleh pembangunan remeh yang menghasilkan bangunan-bangunan kekerdilan. Oleh pertimbangan-pertimbangan peradaban yang remeh untuk berpanjang lebar memperjuangkan monumen-monumen kekerdilan. Oleh ideologi-ideologi besar yang semakin diterapkan semakin memperjelas keremehan dan kekerdilan pelakunya. Oleh karya-karya remeh yang penciptanya merasa besar sehingga kerdil. Oleh tayangan-tayangan remeh yang pembuatnya sangat membangggakann

IBUNDA

Ibumu adalah Ibunda darah dagingmu Tundukkan mukamu Bungkukkan badanmu Raih punggung tangan beliau Ciumlah dalam-dalam Hiruplah wewangian cintanya Dan rasukkan ke dalam kalbumu Agar menjadi jimat bagi rizki dan kebahagiaanmu Tanah air adalah Ibunda alammu Lepaskan alas kaki keangkuhanmu Agar setiap pori-pori kulitmu menghirup zat kimia kasih sayangnya Sentuhkan keningmu pada hamparan debu Reguklah air murni dari kandungan kalbunya Karena Ibunda tanah airmu itulah pasal pertama setiap kata ilmu dan lembar pembangunan hidupmu Rakyat adalah Ibunda sejarahmu Rakyat bukan bawahanmu, melainkan atasanmu Jangan kau tengok mereka ke bawah kakimu, karena justru engkau adalah alas kaki mereka yang bertugas melindungi kaki mereka dari luka-luka Rakyat bukan anak buahmu yang engkau berhak menyuruh-nyuruh dan mengawasi Rakyat adalah Tuanmu, yang di genggaman tangannya terletak hitam putih nasibmu di hadapan mata Tuhan Rakyat adalah Ibunda yang menyayangimu Takutlah kepada air matanya, karena jika Ib

Bekerja itu Memproduksi Tenaga

Ibu, anakmu bukan berpejam mata terhadap betapa penting perkembangan pemikiran-pemikiran. Anakmu belum segila itu. Tapi ia merasa terlibat di dalam belum berhasilnya manusia memfungsikan ilmu pengetahuan untuk berpacu melawan laju kebobrokan. Anakmu memusatkan omongannya ini pada ironi yang anakmu sandang sendiri. Ibu, kami sibuk merumus-rumuskan keadaan, meniti dan menggambar peta masalah, mengucapkan dan mengumumkannya. Pengumuman itu mandeg sebagai pengumuman. tulisan mengabdi kepada dirinya sendiri. Sedangkan Ibu, hampir tanpa kata, berada di dalam peta itu, menjawabnya dengan tangan, kaki dan keringat. Kami menghabiskan hari demi hari untuk mengeja gejala, dengan susah payah berusaha menjelaskan kepada diri sendiri, sampai akhirnya kelelahan, lungkrah dan ngantuk—Ibu pula yang dengan tekun memijiti tubuh kami. Ibu tak kehabisan tenaga. Apakah Ibu menyewanya langsung dari Tuhan? Ya, Bu. Bekerja itu memproduksi tenaga. Berpikir, yang hanya berpikir, selalu menciptakan keletihan, yan

WAWANCARA

SEMUA orang mempunyai pengetahuan tentang hidup. Tapi yang paling tahu hanya tiga, yakni Tuhan, malaikat dan wartawan. Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari mempergunjingkan dan menggosipkan orang. Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain. Tuhan mengetahui apa saja, malaikat mencatat segala peristiwa, dan wartawan bukan hanya sekedar tahu ada peristiwa pengguntingan pita. Wartawan bukan hanya sekedar mengerti teknik wawancara yang terencana. Lebih dari itu, wartawan tahu per

Tanahku, Hutanku, Kuburanku

Rencananya, sesudah diskusi ulang tahun ke-52 Lembaga Administrasi Nasional, 4 Agustus pagi itu, saya janji langsung ke Rumah Sakit Mitra Keluarga untuk turut mengantarkan Rendra pulang ke rumah Clara Shinta, putrinya, di Pesona Khayangan, Depok. Namun, tiba-tiba Mbah Surip dipanggil Tuhan sehingga seusai diskusi, saya dengan beberapa teman Kenduri Cinta langsung menuju rumah Mamiek Slamet di Kampung Makassar, tempat pertama jenazah beliau disemayamkan. Memasuki kampung padat gang sempit penuh orang dan wartawan, tiba juga kami di depan rumah Mamiek. Pintu ditutup rapat. Manohara barusan masuk. Kami tidak punya "kompetensi" untuk berjuang agar bisa dibukakan pintu sebab kami tidak tahu posisi kami dalam dunia Mbah Surip: apakah kami termasuk di lingkaran primer sahabatnya, atau lingkungan sekunder, ataukah fans belaka sebagai ratusan khalayak yang memadati tempat itu. Bersama Dr Nursamad Kamba, aktivis Thariqat Naqshabandy Mesir, kami mengaji dan berdoa di sebuah pojok, kemud

Hidup Itu Di Hati

Manusia hidup dari hatinya. Manusia bertempat tinggal dihatinya. Hati adalah sebuah perjalanan panjang. Manusia menyusurinya, menuju kepuasannya, kesejahteraannya, kebahagiannya, & Tuhannya. Berbagai makhluk menghalanginya, terkadang, atau sering kali, dirinya sendirilah yang merintanginya. Hati adalah pusat kehendak yang membuat manusia tertawa dan menangis, sedih dan gembira, suka ria atau berputus asa. Manusia mengembara dihatinya: pikiran membantunya, maka pikiran harus bekerja sekeras-kerasnya, pikiran bisa perlu ber-revolusi, pikiran tak boleh tidur, pikiran harus dipacu lebih cepat dari waktu cahaya. Hati tidak selalu mengerti persis apa yang dikehendakinya. Ia hanya bisa berkiblat ke Tuhannya untuk memperoleh kejernihan dan ketepatan kemauannya. Pikiran ikut menolongnya mendapatkan kejernihan dan ketetapan itu, tapi pikiran tidak bisa menerangkan apa-apa tentang Tuhannya. Pikiran mengabdi kepada hatinya, hati selalu bertanya kepada Tuhannya. Di hadapan Tuhan, pikiran adalah

Kebijaksanaan Cendol

Karena akan menerima tamu dari Thailand, maka Kiai itu merasa harus menyuguhkan Jawa. Segala yang nampak pada Pondok Pesantren yang dipimpinnya, sebenarnya relatif sudah mengekspresikan tradisional Jawa. Potret desa, model-model bangunan dan irama kehidupannya. Sang tamu besok mungkin akan mendengarkan para santri berbincang dalam bahasa Arab atau Inggris. Tapi itu bukan masalahnya. Yang penting Kiai kita ini tidak akan mungkin menyediakan Coca Cola ke depan hidung tamunya dari tanah Thai itu. Demikianlah akhirnya sekalian santriyah yang tergabung dalam Qismul Mathbah (Departemen Dapur) bertugas memasak berbagai variasi menu Jawa. Dari sarapan grontol, makan siang nasi brongkos, malam gudeg, besoknya pecel, lalu sayur asem dengan snack lemet dan limpung. Sang Kiai sendiri “cancut tali wondo” mempersiapkan suguhan siang hari yang diperkirakan bakal terik. Ia dengan vespa kunonya melaju, membawa semacam tempat sayur yang besar. Empat kilometer ditempuh, dan sampailah ia ke warung kecil d

Berdzikir Hamba-Ku, Berdzikir!

Kalian berdzikir "Subhanallah" Maha Suci Allah, Maha Suci Allah Apa benar kalian mensucikan Aku? Apa benar kehidupan kalian mensucikan Aku? Apa benar watak dan perilaku kalian, kebudayaan dan kemajuan bangsa kalian - mensucikan Aku? Kalian berdzikir "Alhamdulillah" Segala puji bagi Allah, Segala puji bagi Allah Apa benar perekonomian kalian memuji Aku? Apa benar gedung-gedung kalian, kantor-kantor kalian, pertimbangan dan keputusan kalian, kasih dan sepak terjang kalian - memuji Aku? Kalian berdzikir "Wa lailaha illallah", Tiada tuhan selain Allah Hai hamba-Ku, apa benar Akulah yang kalian tuhankan? Apa benar Aku faktor primer dalam bagan strategi sejarah kalian? Apa benar Aku yang nomor satu di dalam kerangka akal dan susunan pikiran kalian Apa benar cinta kalian mendasar kepadaKu? Apa benar Aku sedang menarik hati kalian, dibanding uang, keuntungan dan kekuasaan dunia? Kalau Aku ikut Kontes Idola, apakah kalian kirim sms untuk memenangkan Aku? Kalian ber

Korupsi sebagai Kasus Penyakit Jiwa(ii)

Tentu saja kehidupan kita bukannya sedemikian gelap pekat dan tak ada kebaikan, tak ada kejujuran atau kejernihan. Tapi tulisan ini mengajak kita untuk bercermin. Dan bercermin yang dimaksudkan bukanlah sejenis narsisisme: kita mengagumi kegantengan dan kecantikan wajah kita. Yang kita tatap di cermin terutama justru jerawat-jerawat kita. Jangan khawatir, Anda tidak termasuk para koruptor, pada level mana pun. Anda orang jujur dan selalu menatap Tuhan berdiri tepat dihadapan Anda setiap saat. Anda orang yang selalu berdua dengan-Nya dalam kepatuhan dan kejujuran. Tuhan tidak Anda "letakkan" di samping, tidak Anda perlakukan sebagai "pihak ketiga" sehingga Anda sebut "Ia"--dan bukan "Engkau". Tapi pandanglah wajah-wajah kami! Lihatlah ornamen-ornamen jerawat korupsi dan ngembeng-nya wajah korupsi di wajah kami. Ya, kami-kami yang pejabat tinggi maupun pejabat rendahan. Kami-kami yang orang sentral maupun orang perifekal. Kami-kami orang atas maupu

DITANYAKAN KEPADANYA

Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga Tak demikian Allah menata Maka berdusta ia Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya Tak demikian sunnatullah berkata Maka cerdusta ia Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya Menjadi kacaulah sistem alam semesta Maka berdusta ia Ditanyakan kepadanya sapakah penindas Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota Dilanggarnya tradisi alam dan manusia Maka berdusta ia Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan Ialah burung terbang tinggi menuju matahari Burung Allah tak sedia bunuh diri Maka berdusta ia Ditanyakan kepadanya siapa orang lalai Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola Maka berdusta ia Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar Ialah air yang mengalir ke angkasa Padahal telah ditetapkan hukum alam benda Maka berdusta ia Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin Ial

Korupsi sebagai Kasus Penyakit Jiwa(i)

Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari pamong-pamong desa hingga yang paling atas. Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir, bahkan pun sampai di sekitar koper dan surban ratusan ribu para calon haji. Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit, dan detik. Korupsi menjadi salah satu "sahabat" sehari-hari kita. Korupsi menjadi salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini, bangsa yang selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesarbesarkan dirinya ini. Korupsi atas uang orang banyak. Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat. Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah langsung. Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat merasa "GR", tak tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah atasannya rakyat. Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsip-prinsip dasar kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturanaturan. Korupsi in

Ibu, Tamparlah Mulut Anak-anakmu

Ibu, engkau duduk di hadapanku. Ibu jadilah hakim yang syadid, yang besi, bagi anak-anakmu. Jika kutulis ini sebagai buku netral, pengadilan akan empuk. Setiap kata dari beribu bahasa bisa dipakai untuk mementaskan kepalsuan. seratus ahli penyusun kalimat bisa memproduksi puluhan atau ratusan ribu rangkaian kata yang bebas dari kenyataan dan dari diri penyusunnya sendiri. Kebebasan itu bisa sekedar berupa keterlepasan kicauan intelektual dari dunia empiris, tapi bisa juga merupakan kesenjangan antara semangat ilmu—yang di antara keduanya membentang kemunafikan, inkonsistensi atau bentuk-bentuk kelamisan lainnya. Syair tidak bertanya kepada penyairnya. Ilmu tidak menguak ilmiawannya. Pembicaraan tidak menuntut pembicaranya. Tulisan tidak meminta bukti hidup penulisnya. Ide tidak kembali kepada para pelontarnya. Ibu yang duduk di hadapanku, ini adalah kritik anak-anakmu sendiri. Allah melaknat orang yang mencari ilmu untuk ilmu. Al-‘ilmu lil-‘ilmi. Ilmu menjadi batu, dan para pencari ilm